Perubahan Lahan, Kualitas Lingkungan Hidup, dan Kesejahteraan Manusia

Oleh: Dini A. Norvyani, Dyah Ayu Retnowati, Jesika Taradini, Salsabila N. Feranti

Sudah bukan pengetahuan yang eksklusif bahwa populasi di Bumi semakin bertambah sementara lahan yang tersedia tetap atau bahkan mengalami penurunan kualitas. Di Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan 2020, Lokahita ingin berbagi hasil kajian mengenai perubahan lahan dan pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan dan hidup manusia.

Degradasi Lahan dan Penurunan Luas Hutan

Dengan terjadinya perubahan iklim, risiko dari degradasi lahan diproyeksikan akan meningkat. Menurut laporan Intergoovernmental Panel on Climate Change (Shukla dkk., 2019), sekitar setengah dari populasi yang rentan akan degradasi lahan atau desertification berada di Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika Barat, dan Asia Timur. Walaupun Indonesia yang berada di Asia Tenggara yang tidak termasuk rentan degradasi lahan, tetapi apabila selalu terjadi deforestasi alias kegiatan pengurangan luasan hutan, degradasi lahan tentu dapat terjadi. Berdasarkan hasil perhitungan Lokahita, dari tahun 1996 hingga 2016, luas hutan Indonesia secara keseluruhan telah menurun sebesar 14%. Penurunan luas hutan terbesar terdapat di Pulau Sumatra dengan presentase 35%. Ilustrasi perubahan tutupan lahan hutan di Indonesia dari tahun 1996 ke 2006 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perubahan tutupan lahan hutan di Indonesia dari tahun 1996 ke 2016

Penelitian Tacconi dkk. (2003) dalam Forest Watch Indonesia (2018) mengindikasi beberapa penyebab hilangnya hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi selama periode 1985-1997, antara lain adanya aktivitas perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan serta terjadi kebakaran hutan. Kedua hal ini sering terkait. Penggunaan api dilakukan secara sengaja untuk pembukaan lahan hutan, sehingga tak jarang terjadi kebakaran hutan. Penggunaan api ini dinilai lebih murah dibandingkan dengan menebang pohon satu persatu. Apabila dibandingkan dengan hutan dengan isinya yang beragam, perkebunan satu spesies (monokultur) tentu memiliki tingkat penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan yang lebih rendah.

Selain faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang juga memengaruhi deforestasi. Hal tersebut adalah tata kelola pemerintahan yang buruk, ketidakjelasan kepemilikan tanah, dan rencana tata ruang yang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah. Penegakan hukum yang lemah juga berkontribusi dalam memungkinkan terjadinya penurunan luas hutan (Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), 2010).

Jasa Lingkungan Penyediaan Pangan, Air Bersih, dan Serat

Degradasi lahan dan perubahan iklim, baik secara individu maupun kombinasi keduanya, memiliki dampak yang kurang baik terhadap lingkungan. Padahal lingkungan berperan penting dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Manfaat yang diterima oleh manusia dari berbagai sumber daya dan proses yang disediakan oleh ekosistem ini disebut dengan jasa lingkungan/jasa ekosistem/ecosystem services (Millennium Ecosystem Assessment, 2005; Hein et al., 2006). Jasa lingkungan terbagi dalam empat kelompok yaitu, penyediaan, pengaturan, kultural, dan pendukung (Gambar 2). Masing-masing kelompok tersebut memiliki jasa/produk yang diperoleh dari ekosistem. Untuk mencerminkan kualitas atau taraf dari suatu jasa ekosistem yang berjalan pada suatu wilayah digunakan nilai indeks jasa ekosistem (IJE) (Riqqi dkk., 2018).

Gambar 2 Klasifikasi jasa ekosistem (Millenium Ecosystem Assessment, 2005)

Pada tahun 2020, Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan mengusung tema Food Feed Fiber: Sustainable production and consumption. Sesuai dengan tema tersebut, Lokahita melakukan analisis pengaruh penurunan luasan hutan terhadap perubahan kemampuan ekosistem dalam penyediaan pangan, air bersih, dan serat.  Pulau Sumatera dipilih sebagai wilayah studi yang akan dibahas karena mengalami penurunan lahan hutan terbesar di Indonesia dari tahun 1996 hingga 2016.

Jasa Ekosistem Penyedia Pangan

Gambar 3 Proporsi luasan kawasan hutan berdasarkan kategori IJE Penyedia Pangan di Pulau Sumatera tahun 1996 dan 2016

IJE penyedia pangan kawasan hutan di Pulau Sumatera memiliki kategori IJE yang dominan pada kategori “Rendah” baik di tahun 1996 (26,0%) maupun 2016 (14,8%) (lihat Gambar 3 dan Gambar 4). Jika diperhatikan, persentase luasan pada kategori “Rendah”, “Sedang”, dan “Tinggi” mengalami penurunan dari tahun 1996 ke tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa luas kawasan hutan di Pulau Sumatera berkurang atau berubah menjadi tutupan lahan lain.

Gambar 4 Perubahan pola persebaran IJE Penyedia Pangan di Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Dari sebarannya, selain terjadi penurunan kategori dari “Tinggi” pada tahun 1996 menjadi “Sedang” atau “Rendah” pada tahun 2016, terdapat pula beberapa lokasi yang justru kategorinya meningkat di tahun 2016 seperti pada bagian utara Pulau Sumatera. Hal ini disebabkan adanya konversi lahan dari awalnya yang berupa kawasan hutan lahan kering sekunder bekas tebangan pada tahun 1996, kembali menjadi hutan lahan kering primer di tahun 2016 sehingga kemampuan penyediaan pangannya menjadi meningkat.

Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih

Untuk jasa ekosistem penyedia air bersih, IJE kawasan hutan Pulau Sumatera didominasi oleh kategori “Sedang” dan “Rendah” (lihat Gambar 5). Sama halnya dengan IJE Pangan, pada bar chart juga terlihat bahwa persentase luasan pada kategori “Rendah” dan “Tinggi” mengalami penurunan dari tahun 1996 ke tahun 2016 yang mengindikasikan bahwa luas kawasan hutan di Pulau Sumatera berkurang atau berubah menjadi tutupan lahan lain. Dari peta perubahan IJE-nya (Gambar 6), terlihat jelas bahwa sebagian besar kawasan mengalami penurunan nilai indeks.

Gambar 5 Proporsi luasan kawasan hutan berdasarkan kategori IJE Penyedia Air Bersih di Pulau Sumatera tahun 1996 dan 2016
Gambar 6 Perubahan pola persebaran IJE Penyedia Air Bersih di Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Penurunan nilai IJE penyedia air dari kawasan hutan terlihat cukup signifikan karena kawasan hutan merupakan salah satu tutupan lahan yang sangat berpengaruh dalam penyediaan air, khususnya air tanah. Selain berperan dalam penyediaan air, kawasan hutan juga berperan penting dalam pengaturan air. Pengaturan tata air ini memiliki IJE terpisah dengan penyediaan air, yaitu IJE pengaturan tata air dan banjir.

Jasa Ekosistem Penyedia Serat

Pada kawasan hutan Pulau Sumatera, IJE penyedia serat dominan berada pada kategori “Sedang” dan “Tinggi”.  Sama halnya dengan IJE penyedia air bersih, pada peta perubahan IJE penyedia serat dari tahun 1996 ke 2016, juga terlihat adanya penurunan nilai indeks di sebagian besar kawasan. Jika luasan lahan hutan menurun, tidak heran jika IJE penyedia serat juga akan menurun karena hutan merupakan tutupan lahan yang banyak menyediakan serat alami, baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (serat kayu), hewan, maupun serat dari proses geologis (serat mineral). Proporsi dan ilustrasi sebaran dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7 Proporsi luasan kawasan hutan berdasarkan kategori IJE Penyedia Serat di Pulau Sumatera tahun 1996 dan 2016
Gambar 8 Perubahan pola persebaran IJE Penyedia Serat di Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Alam pada Kawasan Hutan

Selain melalui analisis IJE, pengaruh konversi lahan khususnya penurunan luas tutupan lahan berupa hutan juga dapat dianalisis melalui efisiensi pemanfaatan sumber daya alam kawasan. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam untuk kawasan hutan menunjukkan seberapa optimal potensi sumber daya alam dimanfaatkan pada kawasan hutan tersebut. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam ini dinilai dengan membandingkan kondisi kawasan hutan faktual dengan kondisi maksimum sesuai fungsinya. Kondisi faktual dinilai berdasarkan tutupan lahan eksisting di kawasan hutan tersebut, sedangkan kondisi maksimum merupakan kondisi tutupan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan hutan. Sebagai contoh, kawasan hutan yang didominasi tutupan lahan faktual berupa hutan dapat memiliki efisiensi yang tinggi karena pemanfaatan lahannya sesuai dengan fungsi kawasan yang ditetapkan. Sementara itu, jika kawasan hutan justru didominasi oleh tutupan lahan perkebunan, maka efisiensinya akan menurun karena pemanfaatan lahannya tidak sesuai dengan fungsi kawasan yang ditetapkan (Gambar 9).

Gambar 9 Prinsip penilaian efisiensi pemanfaatan sumber daya alam dalam fungsi kawasan hutan

Di atas dikatakan bahwa Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam ini dinilai dengan membandingkan kondisi kawasan hutan faktual berupa tutupan lahan faktal dengan kondisi maksimum sesuai fungsinya”. Dalam hal ini, parameter yang dibandingkan adalah jasa ekosistemnya. Jasa ekosistem dapat dikuantifikasi sebagai indeks jasa ekosistem (IJE), dengan memperhitungkan tinggi rendahnya fungsi ekosistem berdasarkan jenis tutupan lahan, vegetasi alami, dan ekoregion. Jenis tutupan lahan merupakan faktor yang paling dinamis dalam menilai jasa ekosistem karena perubahannya lebih cepat terjadi daripada kedua faktor lainnya yaitu jenis vegetasi alami dan ekoregion yang relatif tetap dalam jangka waktu yang panjang. Hal itulah yang mendasari pemikiran bahwa IJE dapat mewakili kondisi tutupan lahan dan jasa ekosistem dapat merepresentasikan potensi sumber daya alam di suatu ekosistem, sehingga dapat digunakan untuk menghitung efisiensi pemanfaatan sumber daya alam di suatu kawasan.

Lokahita melakukan pemodelan efisiensi penyedia pangan, air bersih, dan serat pada kawasan hutan di Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Sumatera. Tahun 1996, efisiensi penyedia pangan pada kawasan hutan di wilayah ekoregion ini berkisar di nilai 40-50% (Gambar 10 dan Gambar 11). Areal penggunaan lain merupakan kawasan dengan nilai efisiensi tertinggi, yaitu 61,56%, diikuti KSA/KPA Buluh Cina, yaitu 60,25%. Sementara KSA/KPA Sei Ledong menjadi kawasan dengan nilai efisiensi terendah 40,12%. Persentase ini menunjukkan perbandingan kondisi faktual tutupan lahan terhadap kondisi maksimum atau potensi berdasarkan nilai IJE pada wilayah tersebut.

Gambar 10 Perubahan efisiensi penyedia pangan di kawasan hutan Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016
Gambar 11 Perubahan pola persebaran efisiensi penyedia pangan pada kawasan hutan di Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Dalam kurun waktu 20 tahun, terjadi perubahan penutup lahan yang mempengaruhi kemampuan ekosistem dalam penyediaan pangan. Tentunya, hal ini juga akan menyebabkan perubahan efisiensi setiap kawasan hutan pada ekoregion. Secara umum, terjadi kenaikan efisiensi penyedia pangan. Perubahan terbesar ditemukan pada KSA/KPA Sei Ledong, yaitu naik sebesar 11,88% menjadi 52,00%. Diikuti Hutan Suaka Alam dan Wisata sebesar 7,96% dan TWA Sungai Dumai sebesar 7,87%. Penurunan efisiensi terjadi pada Hutan Produksi (2,90%), CA Hutan Bakau Pantai Timur (0,43%), dan SM Tasik Belat (0,01%). Kenaikan ini diindikasi terjadi karena peralihan fungsi hutan menjadi lahan budidaya penghasil pangan.

Agak berbeda dengan penyedia pangan, efisiensi penyedia air bersih (Gambar 12 dan Gambar 13) dan efisiensi penyedia serat (Gambar 14 dan Gambar 15) cenderung mengalami penurunan dari tahun 1996 ke 2016. Dapat dilihat pada KSA/KPA Sei Ledong, terjadi penurunan efisiensi penyedia air bersih yang cukup signifikan, sebesar 23,72%, begitu pula pada Hutan Suaka Alam dan Wisata yang mengalami penurunan 15,93%. Dalam hal penyedia serat, penurunan efisiensi yang relatif besar terjadi pada kawasan hutan Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar-Danau Bawah (11,71%) dan Hutan Lindung (8,31%).

Gambar 12 Perubahan efisiensi penyedia air bersih di kawasan hutan Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016
Gambar 13 Perubahan pola persebaran efisiensi penyedia air bersih pada kawasan hutan di Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016
Gambar 14 Perubahan efisiensi penyedia serat di kawasan hutan Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016
Gambar 15 Perubahan pola persebaran efisiensi penyedia serat pada kawasan hutan di Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Menilik dari luas tutupan lahan (Gambar 16), terdapat peralihan yang cukup menonjol pada kelas penutup lahan hutan rawa sekunder dan perkebunan/kebun. Pengurangan luasan sebesar hampir 3 juta hektar terjadi pada hutan rawa sekunder; sekitar 1 juta hektar pada hutan lahan kering sekunder; dan sekitar 500 ribu hektar pada pertanian lahan kering campur semak. Penurunan juga terjadi pada hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, rawa, semak belukar rawa, dan tubuh air. Sementara itu, penambahan luasan sebanyak hampir 2,8 juta hektar terjadi pada kelas perkebunan/kebun; sekitar 1,1 juta hektar pada hutan tanaman, dan hampir 500 ribu hektar pada lahan terbuka. Permukiman/lahan terbangun, pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, dan tambak juga mengalami kenaikan luas dari tahun 1996 ke 2016. Dapat dikatakan bahwa, mayoritas penurunan luas ditemukan pada kelas penutup lahan hutan dan kenaikan ditemukan pada kelas lahan produktif.

Gambar 16 Perubahan proporsi tutupan lahan pada kawasan hutan di Ekoregion Kompleks Dataran Gambut Pantai Timur Pulau Sumatera dari tahun 1996 ke 2016

Hasil pemodelan menunjukkan bahwa berkurangnya tutupan lahan hutan atau forest loss di suatu wilayah, Pulau Sumatera secara khususnya, berkontribusi cukup besar dalam penurunan kinerja jasa ekosistem dan berpengaruh pula pada efisiensi pemanfaatan sumber daya alam pada kawasan hutan. Padahal hutan merupakan ekosistem yang memegang peran penting dalam mendukung peri kehidupan manusia melalui jasa lingkungannya. Peran Penting Hutan Dilihat dari Jasa Ekosistemnya. Walaupun konversi lahan juga dilakukan demi kepentingan manusia, misalnya untuk produksi, pemukiman, dan sebagainya; tentunya kita harus menyadari bahwa kegiatan ini seharusnya tidak sampai mengorbankan kualitas lingkungan hidup. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang baik dan benar dalam pemanfaatan lahan sehingga lingkungan tetap lestari dan kesejahteraan manusia tetap terjamin.

Referensi

BAPPENAS. 2010. Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) Summary Report Forestry Sector. Jakarta: BAPPENAS.

Forest Watch Indonesia. 2018. Deforestasi Tanpa Henti. Bogor: Forest Watch Indonesia.

Hein, L., van Koppen, K., de Groot, R. S., & van Ierland, E. C. (2006). Spatial scales, stakeholders and the valuation of ecosystem services. Ecological Economics57(2), 209–228. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.04.005

Millennium Ecosystem Assessment (Program). (2005). Ecosystems and Human Well-being: Synthesis. Island Press.

Riqqi, A., Hendaryanto, H., Safitri, S., Mashita, N., Sulistyawati, E., Norvyani, D. A., & Afriyanie, D. (2018). PEMETAAN JASA EKOSISTEM. Seminar Nasional Geomatika3(0), 237–246. https://doi.org/10.24895/SNG.2018.3-0.962

Shukla, P. R., J. Skea, R. Slade, R. van Diemen, E. Haughey, J. Malley, M. Pathak, J. Portugal Pereira (eds.) Technical Summary. 2019. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems. [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D. C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M, Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.

Tacconi, L. 2003. Proses Pembelajaran (Learning Lesson) Promosi Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Bagikan Post Ini

Tinggalkan komentar